Jatuhnya Kerajaan Padjadjaran

a. Kekuasaan Pajajaran Hingga Tahun 1526 M
Sampai dengan tahun 1526 M, kerajaan pajajaran meliputi sejumlah negara bagian (bawahan/ negara daerah): Cirebon Larang, Cirebon Girang  dengan raja Prabu Kasmaya, Sindang Barang dengan raja Panji Wirajaya, Sukapura dengan raja Lembu Jaya, kidang Lamatan dengan raja Menah Dermawangi, Galuh dengan Nara Wangkang ( atau Larang Tapa),  Astan Larang dengan raja Nara Wingkang,  Tajuknasing dengan raja Aji Narma, Sumedang Larang dengan raja  Lembu Peteng Aji, Limar kancana dengan raja Ujang ngumbara, Ujung Kidul dengan raja Prabu gantangan, Kamuning Gading dengan raja Prabu Siliwangi, Pancakaki dengan raja Nitimuda Aji, Tanjung Sanguru dengan raja Lembu Wulung, Nusa (sunda) Kalapa dengan raja Pangeran rangsang Jiwa, Banten Girang dengan raja Mas Jongjo, Pulosari dengan raja Ajar Domas, dan Ujung Kulon.

Pada tahun 1526 M, Banten yang mencakup keraajaan-kerajaan kecil, seperti: Ujung Kulon, Ujung Kidul, Pulosari, Banten Girang, dan lainya direbut oleh tentara Cirebon-Demak, di kemudian hari menjadi Kesultanan Banten. Pada tahun berikutnya (1927 M), Sunda (Nusa) Kalapa juga jatuh ke tangan Cirebon Demak, dan kemudian diganti namanya menjadi jayakarta, dan menjadikerjaan dibawah kekuasaan Banten.

Menurunya kekuasaan Pakuan di daerah kekuasaannya yang letaknya jauh dari Pakuan, sepertyi Karawang, Ciasem, Pamanukan, Indramayu dan lain-lain. Puncak kemunduran kejuasaan pakuan  ketika diserang oleh tentara Surasowan dari banten pada 8 Mei 1579 M.

b. Pajajaran Burak (Bubar)
Dengan jatuhnya wilayah-wilayah  lainnya, Pakuan sebagai benteng terakhir semakin terjepit oleh pasukan Cirebon-Demak di timur dan banten di barat. Akhirnya pada tahun 1579 M, pasukan banten  yang dipimpin oleh Sultan maulana Yusuf, berahsil menduduki ibukota Pakuan.

Dalam Pustaka Nusantara,  tentang kejatuhan ibukota kerajaan Pajajaran, Pakuan, disebutkan:

”Pajajaran sirna  ing ekadasa suklapaksa wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang sakakala” (Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka).
Tanggal tersebut bertepatan  dengan 8 Mei 1579 M.
Dalam naskah Banten, serangan tentara banten  ke pakuan, disebutkan:

“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam  tepat pada awal bulan hari ahad tahun alif inilah tahun sakanya satu lima kosong satu.”
 
Benteng Pakuan terkenal sangat kokoh yang sulit ditembus. Setelah 12 tahun ditinggal raja, Pakuan masih bisa bertahan, dan baru dapat dibobol Banten dengan cara halus.

Dalam naskah Banten diceritakan bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal  benteng Pakuan mersa sakit hati  karena tidak memperoleh  kenaikan pangkat. Ia adalah saudara ki  Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah  pintu benteng  terlebih dulu  dibukakan saudaranya itu.

Kisah ini mungkin diragukan tentang kebenarannya, tetapi hal ini menggambarkan  betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat prabu Sri Baduga  (Prabu Siliwangi). Setelah ditinggalkan  oleh raja selama 12 tahun, pasukan  Banten masih  terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.
 

c. Diboyongnya Palangka Sriman Ke Banten & Penyelamatan mahkota oleh 4 kandaga lante ke Sumedang Larang

Dengan berhasilnya menduduki ibukota pakuan, Sultan Maulanan Yusuf  kemudian memboyong benda-benda  yang menjadi simbol kemaharajaan Sunda ke Banten, termasuk singgasana penobatan maharaja Sunda, Palangka Sriman Sriwacana. Dengan diboyongnya Palangka Sriman ini menandai berakhirnya kemaharajaan Sunda dan berakhirnya zaman Pajajaran (1482-1579 M).

Palangka Sriman, yang merupakan simbol  tempat duduk  kala seorang raja  dinobatkan, kemudian di boyong dari Pakuan ke Surasowan   Banten oleh Maulana Yusuf. Batu  berukuran 200 x 160 x 20 cm diboyong ke Banten  karena tradisi  politik  Sunda waktu itu mengharuskan  demikian. Karena, pertama, dengan dirampasnya Palangka  tersebut, di Pakuan  tidak mungkin  lagi dinobatkan  raja baru. Kedua,  dengan memiliki palangka itu, Maulana Yusuf   merupakan  penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena buyut  perempuannya adalah putri Sri baduga Maharaja.

Tetapi Maulana Yusuf tidak bisa memboyong mahkota raja, karena telah diselamatkan oleh 4 ksatria sunda yang disebut Kandaga Lante dan menyerahkannya kepada raja Sumedang larang.

Menurut Sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, 4 orang kepercayaan Prabu ragamulya Surya Kancana, raja pajajaran terakhir, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang terdiri dari: Sanghiyang Hawu (Jaya perkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Terong peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan,  kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut  kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya, putra Ratu Inten Dewata (1530-1579 M) yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M). Dan Sumedang larang inilah sebenarnya yang kemudian dianggap sebagai penerus kemaharajan Sunda terakhir, yang tidak pernah bisa dikuasai oleh Banten dan Cirebon.  

*) Meskipun tahun alif baru dgunakan oleh Sultan  Agung Mataram dalam tahun 1633 M, tetapi  dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan  Pakuan 1579 itu memang  akan jatuh pada tahun alif.

d. JATUHNYA WILAYAH LAIN
Seperti halnya, Pakuan, yang merupakan benteng terakhir maharajaan Sunda, yang jatuh  di tangan kesultan banten pada tahun 1579 M. Wilayah-wilayah lain  satu persatu ditaklukan oleh pasukan Banten dan juga Cirebon- Demak.

Raja Talaga, Sunan Parunggangsa ditaklukan cirebon tahun 1529 M. Ia dan juga putrinya, Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri pucuk umun secara sukarela masuk Islam, dan mengakui kekuasaan Cirebon.

Di Sumedang larang, Ratu Setyasih atau Ratu Inten Deawata atau Ratu Pucuk Umun (1530-1579 M),  meskipun tidak pernah kalah perang dan tidak pernah dikuasai oleh Cirebon, harus mengakui  kekuasaan Cirebon dan masuk Islam, meskipun tetap independen, dan tidak pernah dikuasai. Ratu Setyasih kemudian menikah dengan pangeran Santri.

Di Kerajaan Kuningan, Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon. Salah seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat sunan gunung jati, yang bernama Suranggajaya. Suranggajaya ini kemudian  diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan, karena kuningan menjadi bagian Cirebon.

Di Kerajaan Galuh, penguasa Galuh yang bernama Prabu ujang Meni, yang bergelar Maharaja Cipta sanghiyang di Galuh beruasah mempertahankan wilayahnya dari pasukan Cirebon. Tapi karena kekuatannya tidak seimbang, ia bersama putranya yang bernama Ujang ngekel yang kemudian naik tahta galuh bergelar  Prabu Di Galuh Ciptapermana (mp. 1595-1608 M), juga mau tak mau harus mengakui kekuasaan Cirebon, dan juga secara sukarela masuk Islam. Demikian juga kerajaan sindang kasih (Majalengka) dan juga Panjalu.

Tidak ada komentar