Migrasi dan Ideologi Jambudwipa India ke Indonesia

Dalam prasasti Allahabad (345 M) India, “Kerajaan Samudragupta telah mengalahkan Raja Hastiwarman dari keluarga Calakayana dan mengalahkan Raja Wisnugopa dari keluarga Pallawa”. 270 saka (348 Masehi) seorang Maharsi dari keluarga Calakayana hijrah ke pulau-pulau sebelah selatan India bersama para pengikutnya yang terdiri dari penggiring, tentara, dan penduduknya melarikandiri dari musuhnya Samudragupta.

Sang Maharsi bernama Jayasingawarman, telah mendapatkan persetujuan dari Sang Prabu Darmawirya (Prabu Dewawarman VIII / Raja Salakanagara terakhir) untuk menempati suatu wilayah di dekat sungai Citarum. Sang Maharsi dan para pengikutnya membuka wilayah ini menjadi permukiman dan memberinya nama Tarumadesya/Desa Taruma. Perkembangan desa ini sangat pesat sehingga dalam beberapa tahun Taruma menjadi Nagara (kota yang memiliki daerah di sekitarnya yang bergantung pada kota tersebut sebagai barometer). Dari desa ini berdiri sebuah kerajaan besar di Nusantara yaitu kerajaan Tarumanagara. Dan Sang Maharsi Jayasingawarman menjadi raja pertama dengan nama abhiseka (penobatan) Jayasingawarman Gurudarampurusa. Kecakapannya dalam membangun wilyahnya ia menjadi perhatian bagi

Sang Prabu Dewawarman VIII sendiri berasal dari keluarga Pallawa, ia menjadi raja Salakanagara karena menikah dengan puteri sulung Sang Dewawarman VII. Sang Prabu Darmawirya mengangkat Sang Maharsi menjadi menantu dengan menikahkannya dengan puteri sulungnya yakni Iswari Tunggal Prtiwi Warmadewi atau Dewi Minawati. 285 Saka (368 Masehi) Sang Prabu Darmawirya mangkat sehingga Sang Maharsi pewaris tahta raja Salakanagara namun ia menolak dan memberikan kepada adik iparnya, ia fokus membangun Tarumanagara menjadi sebuah kerajaan yang besar sehingga Salakanagara sebagai kerajaan bawahannya Tarumanagara. Sang Maharsi mangkat pada 304 Saka (382 Masehi) dipusarakan di tepi kali Gomati

Ia digantikan oleh putera sulungnya dengan gelar Rajarsi Darmayawarman-guru, gelar ini diberikan karena selain pucuk pimpinan pemerintahan ia juga sebagai pimpinan guru ruhani hindu sebagai agama yang dianut oleh keluarga keraton. Namun penduduk desa banyak yang masih berpegangan dengan ajaran sebelumnya, Sang Rajarsi berusaha mengajarkan ajaran hindu kepada penghulu-penghulu desa sampai mendatangkan brahmana-brahmana dari India. Namun tidak semua penduduk mau mengikuti ajaran Sang Rajarsi. Masyarakat dibagi menjadi 4 klas/kasta yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Dan berdasarkan kepatuhan terhadap Sang Rajarsi maka peduduk dibagi menjadi 3 golongan yaitu nista, madya, dan utama. Nista adalah golongan penduduk yang takut oleh ajaran Sang Rajarsi. Ia mangkat pada tahun 317 Saka (395 Masehi) dengan sebutan Sang Lumahing Chandrabhaga (yang dipusarakan di Chandrabhaga/Bekasi).

Selain pendiri Tarumanagara yang berasal dari keluarga Calakayana, Sang Dewawarman I pendiri Kerajaan Salakanagara yang berasal dari keluarga Pallawa ia bersahabat dengan penduduk pesisir Jawa Barat dan Nusa Api (Krakatau) sebagai duta Maharaja Pallawa. Adapun penghulu/penguasa Dewawarman berhasil bekerjasama dengan masyarakat lokal mengahalau para perampok dan bajak laut. Ia menikahkan puteri Aki Tirem yang bernama Pohaci Larasati, ketika Aki Tirem wafat ia menjadi pengganti penghulu dinobatkan dengan nama Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara sedangkan isterinya Pohaci Larasati menjadi permaisuri dengan nama Dewi Dwani Rahayu. Dan kerajaannya diberinama Salakanagara artinya Negeri Perak 52 Saka (130 Masehi), daerah kekuasaannya meliputi Jawa Barat bagian barat dan semua pulau yang berada sebelah barat Nusa Jawa termasuk selat Sunda. Pelabuhan pesisir Jawa Barat, Nusa Mandala (Pulau Sanghyang), Nusa Api (Krakatau), dan pesisir Sumatera bagian selatan dijaga oleh pasukan Kerajaan Salakanagara sebab jalur merupakan gerbang laut. Seluruh kapal yang berlayar dari timur ke barat atau sebaliknya harus berhenti dan membayar upeti.

Kedatangan dua keluarga ini yaitu Pallawa dan Calakayana mewarnai dan mempengaruhi tatanan, mindset, ajaran, bahkan mungkin prilaku masyarakat lokal Nusantara minimal selama 2 abad proses transfer nilai-nilai tatanan pada masyarakat Nusantara (Dwipa Nusantara).

Tidak ada komentar